Hari esok mesti dirancang harus lebih baik dari hari ini,
dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan
melaksanakan lima “M ” ; yaitu Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah,
Muhasabah, dan Mu’aqabah.[1]
1. Mu’ahadah
Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT.
Sebelum manusia lahir ke dunia, masih berada pada alam gaib, yaitu di
alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh.
Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan
ruh belum berupa materi (badan jasmani). Karena itu, logis sekali jika
manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut.
Mu’ahadah konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada
Allah setelah kelahirannya ke dunia, berupa ikrar janji kepada Allah.
Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari dan semalam, bagi yang
menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di dalam surat Al Fatihah
ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya,
engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau semata pula
tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan.
Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah.
Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai pertolongan,
kecuali hanya Allah semata.
Tidak ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang boleh dialamatkan kepada selain Allah SWT.[2]
Mu’ahadah yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan
kalimat “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya
kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.”
2. Mujahadah
Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan
teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan
Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya
manusia.
Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya ‘abdun (hamba)
yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud (Allah Maha
Menjadikan) sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti
(beribadah).
Mujahadah adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba
kepada Allah, sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara
perintah Allah SWT kepada manusia adalah untuk selalu berdedikasi dan
berkarya secara optimal.
Hal ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 5,
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan
yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa yang telah kamu
kerjakan.”
Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan
keimanannya dengan beribadah dan beramal shaleh dijanjikan akan
mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju (ridha) Allah SWT
hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada yang terus
bermujahadah dengan istiqamah.
Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat
kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan
yang terus menggoda.
Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah
(menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban
yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar.
Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah
sebenarnya yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu
orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya.
Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias
lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya
melalui musyahadah.”
Imam Al Qusyairi an Naisaburi [3] mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut:
« Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari
kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar
terhadap ketaatan.
Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan
kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan,
wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya.
Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar.
Sesungguhnya bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud), adalah sesuatu yang mudah.
Sedangkan membina akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit. »
Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh
siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد ِ * إِذْ يَتَلَقَّى
الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ * مَا
يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat
kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat
mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain
duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya
melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S.
Qaaf: 16-18).
3. Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT
sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin
kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun
tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini
makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah
SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy
mengatakan, « “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian.
Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh
Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam
perilaku lahiriahmu sehari-hari.” »
Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, « “Abu Hafs
mengatakan kepadaku, ‘manakala engkau duduk mengajar orang banyak
jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan
biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu,
sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT
memperhatikan wujud batinmu.” »
Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas
dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang
harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban
yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang
wajib dihindari.
Muraqabah dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur.
« Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada.
Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri.
Ikatlah ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena
malaikat senantiasa mengontrolmu. Allah SWT Maha Mengetahui segala hal
di dalam batin.
Seharusnya engkau malu kepada Allah SWT dalam setiap
kesempatan dan seyogyanya hukum Allah SWT menjadi pegangan dlam
keseharianmu.
Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan
sekali-kali engkau berbuat riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil.
Kalau engkau berbuat demikian maka engkau akan disiksa.
Engkau berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau
rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan
yang terang-terangan, semuanya sama.
Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri
kepada-Nya (Bertaqarrub) dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan
menjauhi seluruh larangan-Nya.” » [4]
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ
يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ اْلأَوْفَى وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ
الْمُنْتَهَى وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ
وَأَحْيَا
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan
diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah
kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya DIA yang menjadikan orang
tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan yang
menghidupkan.” (QS. An-Najm: 39-44)
4. Muhasabah
Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan
amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang
tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang
abadi di yaumul akhir.
Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu
menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh
perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan
kehidupan bermasyarakat. Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu
mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah
SWT.
Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi
Thalib r.a. melaksanakan shalat shubuh. Selesai salam, ia menoleh ke
sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia merenung di tempat duduknya
hingga terbit matahari, dan berkata ;
« “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat (Nabi) Muhammad
SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama
sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam
hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah
dengan bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan kaki dan jidat mereka
apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa
angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan
orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan
mereka).” »
Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan
ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara
tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ; «
“Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu
Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena
aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” » [5]
Waktu terus berlalu, ia diam seribu bahasa, sampai-sampai
manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya.
Allah SWT bersumpah dengan berbagai kata yang menunjuk pada waktu
seperti Wa Al Lail (demi malam), Wa An Nahr (demi siang), dan
lain-lain.
Waktu adalah modal utama manusia. Apabila tidak dipergunakan
dengan baik, waktu akan terus berlalu. Banyak sekali hadits Nabi SAW
yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya
sebaik mungkin.
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا َكثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَ الفَرَاغُ
“Dua nikmat yang sering disia-siakan banyak orang: Kesehatan
dan kesempatan (waktu luang).” (H.R. Bukhari melalui Ibnu Abbas r.a).
5. Mu’aqabah
Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri.
Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia
segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat,
seperti berinfaq dan sebagainya.
Kesalahan maupun dosa adalah kesesatan.
Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia
bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang
ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan Allah.
Berkubang dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib ditinggalkan.
Di dalam ajaran Islam, orang baik adalah orang yang manakala
berbuat salah, bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat,
dalam arti kembali ke jalan Allah dan berniat dan berupaya kuat untuk
tidak akan pernah mengulanginya untuk kedua kalinya.
Shadaqallahul’azhim. Allahu A’lamu Bissawab.
sumber : http://blogminangkabau.wordpress.com/2009/05/06/bersikap-muahadah-mujahadah-muraqabah-muhasabah-dan-muaqabah-dalam-membangun-hari-esok-yang-lebih-baik/
May 31, 2011
Bersikap Muahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Muaqabah dalam Membangun Hari Esok yang lebih baik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
tinggalkan komentar untuk postingan di atas.